Selasa, 16 Oktober 2018

Memahami dan Mengidentifikasi Mata Pencaharian Alternatif Masyarakat di Teluk Depapre Tanah Merah, Jayapura

Teluk Depapre yang berada dalam Ekoregion Laut 16 (berdasarkan jejaring kawasan Konservasi Perairan) dan atau WPP RI 717 (Wilayah Pengelolaan Perikanan), pada tahun 2015 telah diusulkan sebagai Calon Kawasan Konservasi Perairan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura. Selain itu, kawasan Teluk Depapre yang juga dikenal dengan kawasan Tanah Merah juga telah ditetapkan sebagai kawasan strategis penunjang pembangunan di Provinsi Papua melalui Perpres RI No. 65 tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Salah satu infrastruktur penunjang tersebut, yakni pembangunan dermaga penumpang dan pelabuhan peti kemas yang mulai dibangun pada tahun 2015.
Penetapan kawasan strategis tersebut telah memicu perubahan di kawasan tersebut, baik dari aspek lingkungan maupun dari aspek komunitas yang mendiami kawasan sekitarnya. Kondisi tersebut tidak hanya menimbulkan persoalan baru bagi masyarakat local tetapi juga menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya yang ada. Masuknya masyarakat pendatang dapat memicu intensitas pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan yang berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan sumber daya, bahkan juga berdampak pada lunturnya nilai-nilai budaya masyarakat local serta lunturnya kesadaran tentang pelestarian sumber daya. Sementara itu, jika kawasan tersebut juga telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan maka secara tidak langsung memberikan konsekuensi baik positif maupun negatif terhadap bentuk dan aktivitas pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut oleh masyarakat di sekitar kawasan. Masyarakat lokal di kawasan Teluk Depapre memiliki pendapatan yang dapat dikategorikan masih rendah dengan teknologi pemanfaatan yang cukup sederhana. Seiring dengan terbukanya kawasan Teluk Depapre, masyarakat local dipastikan akan semakin tersisih dengan keterbatasan teknologi dan minimnya keterampilan yang dimiliki dalam memanfaatkan sumberdaya, bahkan dapat memicu penggunaan alat tangkap yang merusak. Di satu sisi, dengan pengembangan kawasan nantinya menjadi kawasan konservasi tidak serta-merta diterima dan dijalankan dengan baik oleh masyarakat lokal karena berbagai kepentingan. Kondisi tersebut dapat memicu konflik dan persaingan pemanfatan sumber daya yang dapat memperparah kerusakan sumber daya. Selain itu, menurut Noveria dan Malamassam (2015), penduduk yang bermukim di pulau-pulau kecil dan pesisir, mata pencaharian di bidang perikanan tangkap merupakan sumber ekonomi rumah tangga yang paling utama tidak dapat menjamin ketahanan ekonomi rumah tangga secara berkelanjutan. Hal ini terutama dipengaruhi oleh kondisi rentannya sektor perikanan tangkap terhadap berbagai ancaman, seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, serta eksploitasi sumber daya perikanan yang berlebihan. Situasi ini umumnya diperparah dengan kondisi tingginya tekanan penduduk di tengah keterbatasan sumberdaya lahan di wilayah pesisir.

Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya pemberdayaan masyarakat lokal adalah penciptaan lapangan kerja yang baru melalui identifikasi mata pencaharian alternatif dengan tetap mempertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya. Mata pencaharian alternatif dapat diartikan sebagai mata pencaharian di luar kegiatan ekonomi tradisional atau kegiatan ekonomi yang telah umum dilakukan sebelumnya oleh penduduk di suatu wilayah (Ireland, 2004), dilakukan dengan diversifikasi pekerjaan yang sekaligus juga bertujuan untuk mengurangi risiko dan kerentanan terkait dengan kemiskinan (Brugere et.al., 2008). Selain itu, sebuah konservasi (hutan) tidak dapat dicapai hanya dengan memberi kompensasi kepada penduduk setempat tergantung pada sumber daya hutan untuk jasa lingkungan hutan mereka yang diberikan kepada masyarakat dunia - atau dengan memberi kompensasi atas pembatasan pemanfaatan (Lax and Krug, 2013). Dengan demikian, maka tujuan pengelolaan kawasan konservasi dan penetapan sebagai kawasan strategis nasional dapat tercapai, yakni mempertahankan biodiversity dengan memastikan pemanfaatan sumberdaya dan jasa ekosistem secara berkelanjutan, dan meningkatnya kesejahteraan manusia, yakni khususnya masyarakat local sebagai pemanfaat sumberdaya. Beberapa hal yang mendukung suksesnya penciptaan dan pemberdayaan kegiatan mata pencaharian alternatif di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut Tobey (2004), yakni 1). bimbingan teknis dan manajemen, baik dalam bentuk pelatihan maupun pendampingan lapangan; dan 2) pemahaman yang menyeluruh terhadap beberapa komponen penting dalam penciptaan usaha ekonomi produktif juga diperlukan dalam mendukung suksesnya pelaksanaan kegiatan mata pencaharian alternatif. Kemudian Noveria dan Malamassam (2015), lebih lanjut menyebutkan bahwa hal utama yang perlu disadari sebelum melakukan inisiasi kegiatan mata pencaharian alternatif adalah pentingnya pemahaman yang menyeluruh mengenai kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di wilayah pesisir, termasuk kebiasaan dan pandangan masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dalam penciptaan mata pencaharian alternatif. Kusnadi (2008) yang menyatakan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan usaha alternative, yaitu 1) jenis-jenis mata pencaharian alternatif yang bergantung pada struktur dan potensi sumber daya ekonomi local yang tersedia, baik di kawasan pesisir maupun dengan mendayagunakan potensi sumberdaya laut, 2) penentuan jenis usaha sebagai mata pencaharian alternatif akan berpengaruh terhadap pilihan teknologi dan peralatan yang dibutuhkan untuk mendukung usaha tersebut. Sebaiknya, jenis teknologi dan peralatan yang digunakan adalah teknologi tepat guna, dan 3) jaringan pemasaran yang luas dan jauh untuk menjamin keberlanjutan usaha dari mata pencaharian alternatif.

Penelitian ini didasarkan pada pendekatan Coastal Livelihood System Analysis (CLSA), yang merupakan suatu pendekatan untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi mata pencaharian yang dapat dan layak dikembangkan untuk masyarakat pesisir (Adrianto, 2005), dalam kerangka pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan dimana aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan. Dalam (Chambers 1994), ide dasar dari pendekatan mata pencaharian yang berkelanjutan didasarkan pada lima pilar, yang lima aset mata pencaharian: modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal alam, dan keuangan modal. 

Sumber: Yunus P. Paulangan, Muh. Arsyad Al. Amin, Yudi Wahyudin, dan Taryono Kodiran. 2018. Identifikasi Mata Pencaharian Alternatif Masyarakat Lokal di Calon Kawasan Konservasi Teluk Depapre, Jayapura. JUMABIS (JURNAL MANAJEMEN & BISNIS) 2(2):1-8.

http://www.jurnal.manuncen.ac.id/index.php/jmb/article/view/19



Tidak ada komentar:

Posting Komentar