Minggu, 28 Februari 2010

Pendekatan Integrated Coastal Management di Xiamen China dan di Indonesia

A. KONDISI INTEGRATED COASTAL ZONE MANAGEMENT (ICZM) DI CINA
1). Kondisi Umum Republik Rakyat Cina (RRC)
Cina memiliki pantai dengan tiga zona iklim, yaitu beriklim sedang, sub-tropis, dan tropis. Oleh karena itu berbagai macam spesies dalam sejumlah ekosistem berbeda. Rentang di zona pantai dari dataran pasang surut ke ekosistem delta sungai, termasuk aam laut, dan bahkan mencakup hutan bakau dan terumbu karang. Morfologi pantai bervarias dari batuan dasar ke pantai berpasir, beberapa daerah telah mengalami erosi, dengan memiliki panjang garis pantai 18.000 km, sementara wilayah pesisir didefenisikan salah satunya oleh Wang (1992) dalam Lau (2005), yaitu meliputi wilayah 10 km ke arah darat dan ke laut sampai kontur batimetri 15-20 m, sedangkan menurut SOA, 5-10 km ke arah darat dan 20 m isobath ke laut.

Selasa, 16 Februari 2010

Dinamika & Persfektif Penanggulangan Destructive Fishing di Kepulauan Padaido, Biak Numfor

Dahuri et.al. (1996) merumuskan ada lima penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia, yaitu : (1) Penambangan batu karang (coral mining) untuk bahan bangunan, pembangunan jalan dan hiasan; (2) Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan alat tangkap tertentu yang pengoperasiannya dapat merusak terumbu karang, seperti muroami; (3) Pencemaran perairan oleh berbagai limbah industri, pertanian, dan rumah tangga, baik yang berasal dari kegiatan di daratan maupun kegiatan di laut; (4) Pengendapan dan peningkatan kekeruhan perairan dalam ekosistem karang akibat erosi tanah di daratan, maupun kegiatan penggalian dan penambangan di sekitar terumbu karang; dan (5) Eksploitasi berlebihan sumberdaya perikanan karang.
Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan target. Sementara praktek pembiusan dapat mematikan zooxanthella hewan penyusun karang sehingga karang menjadi berubah warna yang akhirnya mati serta ikan-ikan lainnya ikut mati yang tidak menjadi target. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak (bom) dan bahan beracun (potas) berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
Praktek penangkapan ikan yang merusak ini marak dilakukan di daerah tropis, dimana terdapat populasi penduduk yang meningkat sehingga tekanan ekonomi meningkat pula. Dalam memenuhi kebutuhan nelayan seringkali menempuh cara-cara yang mudah dan menguntungkan secara ekonomi tanpa mempertimbangkan dampaknya.


TERUMBU KARANG (Fungsi, Peranan, dan Produktivitas)
Salah satu kekayaan laut yang penting peranannya dalam ekosistem laut adalah karang. Karang bersama-sama dengan alga berkapur dan organisme lain yang mengeluarkan kapur membentuk ekosistem terumbu karang yang menjadi tempat hidup berbagai jenis satwa laut. Selain itu, pemandangan yang ditimbulkannya sangat indah dan menakjubkan. Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di dunia yang paling produktif dan sangat beraneka ragam. Ekosistem ini merupakan habitat dari biota-biota laut seperti ikan karang, molusca, krustasea, invertebrata dan vegetasi laut. Biota-biota tersebut memanfaatkannya untuk berkembang biak, mencari makan, pembesaran dan perlindungan dan pemangsa. Karena kekayaannya itu maka ekosistem ini menjadi ”dapur” dan ”bank” bagi masyarakat dan nelayan lokal karena menjadi sumber utama penghidupan mereka (Boli et al., 2007).
Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Karang dapat ditemukan di seluruh lautan di dunia, baik di perairan kutub maupun perairan ugahari, seperti yang ada di daerah tropik, tapi hanya di daerah tropik terumbu karang dapat berkembang. Hal ini disebabkan oleh adanya dua kelompok karang yang berbeda, yang satu dinamakan hermatipik dan yang lainnya ahermatipik (Nybakken, 1997).
Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu sedang ahermatipik tidak. Karang ahermatipik dapat ditemukan di seluruh dunia sedang hermatipik hanya ditemukan wilayah tropik. Perbedaannya adalah karang hermatipik di dalam jaringannya terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis (hidup bersama) yang dinamakan zooxanthellae (Nybakken, 1997).
Terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan masyarakat (binatang) karang (reef corals), yang hidup di dasar perairan, yang berupa batuan kapur (CaCO3), dan mempunyai kemampuan yang cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut (Dawes, 1981 in Supriharyono, 2007; Mann, 2000)
Terumbu karang merupakan daerah menarik di dunia. Lebih dari satu juta spesies yang terdiri dari 32 - 33 phylia; yang menempati kurang dari 0.2% perairan dunia, masih menyediakan 25% tangkapan ikan di negara berkembang; juga memproteksi komunitas pesisir dari badai dan abrasi pantai; dan menghasilkan pendapatan dari kegiatan pariwisata (Sale, 1999 in Mann, 2000).
Terumbu karang sebagai rumah bagi ikan karena banyak jenis karang skeletons, baik hidup dan mati, memberikan perlindungan bagi ikan yang mencari perlindungan dari predator di antara celah dan lubang yang disediakan oleh karang. Selain itu banyak ikan menggunakan terumbu karang sebagai rumah tempat perlindungan setelah mereka kembali dari mencari makan di padang lamun, mangrove, dan ekosistem lainnya. Karena tinggi biota yang berasosiasi di terumbu karang ini terutama ikan dasar dan ikan karang, sehingga menjadi daerah habitat target nelayan.

Salah satu keunikan dari ekosistem terumbu karang adalah tingginya produktivitas tanaman dan algae tetapi rendah produksi bersih ikan (Nixon 1982). Namun, terumbu karang merupakan eksositem penting karena sangat mendukung perikanan tropis. Dalzel (1996) melaporkan bahwa melaporkan bahwa produksi perikanan dari ekosistem ini berkisar 0,5-50 ton per kilometer per tahun.


ANCAMAN DAN TEKANAN TERHADAP TERUMBU KARANG (Kasus Penangkapan Ikan dengan Bahan Peledak (Bom) dan Racun (Sianida).
Menurut Mann (2000), beberapa dampak aktivitas manusia yang penting terhadap terumbu karang, yaitu eutrofikasi, sedimentasi, polusi minyak, penambangan karang dan praktek perikanan yang merusak (Brown, 1997). Selanjutnya Murdiyanto, (2003) menyatakan bahwa selain aktivitas tersebut rusaknya habitat karang dapat pula disebabkan akibat pencemaran tumpahan minyak,polusi sampah lainnya, faktor alam seperi gempa didasar laut yang diikuti tsunami, letusan gunung api, El Nino, blooming jenis organisme tertentu seperti ganggang red tide dan sebagainya. Faktor alam seperti blooming jenis bintang laut Acanthaster planchi dapat pula mengancam keseimbangan ekosistem terumbu karang.
Beberapa metode dari penangkapan ikan memberikan dampak fisik terhadap terumbu karang, seperti penggunaan pukat cincin, bubu dan penggunaan bahan peledak. Selain itu metoda penangkapan ikan juga telah mempunyai dampak terhadap terumbu karang. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (dinamite) dan sianida (penggunaan sianida membuat ikan pingsan) telah tersebar luas. Ini mempunyai dampak yang sangat serius pada terhadap terumbu karang, kedua-duanya merusak secara fisik terumbu karang dan juga mempengaruhi kesehatan dari karang dan organisma yang berasosiasi dengan karang (Wilkinson (1998, 2002); Jones et al. (1999); McClannahan et al. (2002) in Rosenberg et al., (2004).
Meningkatnya aktivitas ekonomi yang menimbulkan dampak buruk terhadap kehidupan karang seperti pengambilan karang untuk dijual sebagai bahan bangunan,penangkapan ikan hias karang dengan menggunakan racun (potasium sianida) dan penangkapan yang terlalu berlebihan mengakibatkan kerusakan habitat dan kehidapan karang.

Murdiyanto (2003) menyebutkan beberapa metode dari penangkapan ikan memberikan dampak fisik terhadap terumbu karang, seperti penggunaan pukat cincin, bubu dan penggunaan bahan peledak. Penangkapan ikan dengan bom (dinamit) yang ditujukan pada ikan dan penggunaan racun (potassium sianida) untuk menangkap ikan hias sangat mempengaruhi pertumbuhan karang. Ledakan bom umumnya mematikan (lethal) terhadap semua organism hidup yang berada sejauh 75 m dari pusat ledakan (sekitar 2 ha), dan volume air sebanyak 2 juta meter kubik. Untuk ikan-ikan dengan gelembung renang, radius fatalnya mencapai 300 m.
Menurut Ikawati et al. (2001) bahwa pengeboman yang menggunakan bahan karbit (Ca2C) seberat 0,5 kg biasanya dilakukan pada daerah terumbu karang yang emiliki kedalaman lebih dari 15 meter. Pengaruh ledakan bom 0,5 kg pada radius 3 meter dapat menghancurkan terumbu karang, sedang pada radius yang lebih besar dapat menyebabkan patahnya cabang-cabang jenis karang Acropora. Selanjutnya, pecahan karang lambat laun ditutupi oleh alga (Cladophora spp.), sehingga rekolonisasinya akan berjalan lambat, sebab kehadiran algae mengganggu proses penempelan lanula (larva karang batu) pada pecahan karang. Ekosistem terumbu karang yang rusak akibat bahan peledak biasanya didominasi oleh karang dari marga fungia dan bulu babi (Diadema spp.) sementara pengguaan bahan beracun (sianida) dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan karang yang diracun, seperti ikan hias (ornamental fish), kerapu (Epinephelus spp), napoleon (Chelinus), dan ikan sunu (Plectropoma sp.). Racun tersebut dapat menyebabkan ikan “mabuk” dan kemudian mati lemas. Sedangkan residunya (sisanya) dapat menimbulkan stress bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai dengan keluarnya lendir.

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
Kepulauan Padaido Kabupaten Biak memiliki potensi sumberdaya terumbu karang dengan biodiversity yang sangat besar dan beragam. Berdasarkan penelitian (Wouthuyzen dan Sapulete, 2001) sebagaimana yang diacu dalam Laporan Pemerintah Kab. Biak tahun 2005, dimana sekitar 90 jenis yang tergolong dalam 41 genera dan 13 famili serta beberapa jenis karang lunak yaitu Sinularia polydactil, Sarcophyton trocheliophorum, Labophytum strictum dan L. crassum. Sementara jenis-jenis karang batu yang dominan adalah dari Faviidae, Fungidae, Pocilloporidae dan Acroporidae dengan luas reef flat sekitar 9252,1 ha2 dan deep reef 328,2 ha2 (Suharsono dan Leatemia, 1995 in Kab. Biak (2005). Sedang 123 jenis ikan karang terdiri dari 71 jenis dari family Pomacentridae, dan 83 jenis ikan kepe-kepe (angelfish dan butterfly fish).
Potensi terumbu karang yang sedemikian besar dan beragam tersebut, telah mendorong sector perikanan Kabupaten Biak hal ini dapat dilihat pendapatan daerahnya bertumpu pada pengembangan sektor perikanan dan kelautan. Kabupaten Biak memiliki potensi perikanan yang cukup besar dengan perairan seluas 1.0869 km2 dan potensi lestari sumberdaya ikan sebesar 661.600 ton/tahun (potensi lestari sumberdaya demersal tanpa udang sebesar 194.400 ton/tahun). Tingkat pemanfaatan potensi perikanan laut pada tahun 2002 mencapai 11.597,8 ton atau 1,75%. Tahun 2003, menurun menjadi 583,82 ton atau hanya 0,08% yang dimanfaatkan dari hasil produksi ikan dan hasil laut lainnya dari usaha perikanan rakyat (Kabupaten Biak Dalam Angka, 2003). Selan itu, Kabupaten Biak merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang potensial, yang terdiri atas wisata alam, wisata sejarah, dan wisata budaya. Hamparan karang yang memiliki keindahan yang sangat menarik, serta keanekaragaman jenis terumbu karang dan biota laut lainnya yang tinggi merupakan salah satu obyek wisata yang sangat menarik (Kabupaten Biak, 2005)
Kabupaten Biak sebagai kabupaten kepulauan yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati laut (khususnya terumbu karang) yang sangat besar dan beragam dan kondisi terumbu karangnya yang masih relative baik, yaitu yaitu tutupan karang hidup sekitar 42% sampai 78% (COREMAP II, 2005) seyogyanya dikelola secara optimal, terpadu dan berkelanjutan bukan hanya sekadar untuk peningkatan pendapatan daerah, melainkan untuk kesejahteraan masyarakat yang diberkati Tuhan.
Seperti halnya di Taman Nasional Mu Koh Chang Thailand dari kajian yang dilakukan oleh Yeemin, et al., (2002), tidak jauh berbeda yang terjadi di Kepulauan Padaido Kabupaten Biak, bahwa kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh kurangnya kesadaran, keserakahan, kurangnya pengetahuan ekologi, kegagalan koordinasi antar lembaga, manajemen pariwisata yang tidak baik, kurangnya jumlah staf pemerintah, peneliti dan manajer situs untuk manajemen karang karang, penegakan hukum tidak efisien, kemiskinan dan degradasi dari gangguan alam.
Sedang menurut Dahuri (2003) bahwa secara umum ada 5 (lima) alasan mendasar mengapa kehidupan di wilayah pesisir dan laut beresiko terhadap keanekaragaman hayati laut,, yaitu pertama, tingkat kepadatan peduduk yang sangat tinggi; kedua, tingkat konsumsi berlebihan dan penyebaran sumberdaya yang tidak merata; ketiga, kelembagaan; keempat, kurangnya pemahaman tentag pentingnya ekosistem alam; dan kelima, kegagalan system ekonomi dan kebijakan dalam menilai ekosistem alam.

PERSFEKTIF PENANGGULANGAN PENANGKAPAN IKAN TIDAK RAMAH LINGKUNGAN
Praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (bius) makin marak dilakukan di berbagai wilayah perairan di Kabupaten Biak. Praktek semacam ini selain menimbulkan kerugian ekologis, juga menimbulkan dampak social ekonomi yang sangat besar terhadap negara dan daerah, serta dapat memicu berbagai perselisihan social yang memprihatinkan terutama akibat menurunnya produktivitas ekosistem terumbu karang. Jika hal ini berlangsung terus, maka diperikirakan dalam waktu yang singkat terumbu karang di Kepulauan Padaido Kabupaten Biak akan berkurang serta biota-biota yang berasosiasi dengan terumbu karang terutama yang benilai ekonomis dan terlebih yang langka dapat menjadi punah. Kegiatan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan tidak hanya mengancam keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan laut, tetapi juga memacu peningkatan jumlah masyarakat miskin di wilayah tersebut.
Agar keberlanjutan sumberdaya dapat dipertahankan, maka aktivitas manusia (antrophogenic causes) yang baik secara langsung maupun tidak langsung yang berpotensi merusak keberlanjutan sumberdaya ekosistem terumbu karang mestinya diminimalisasi, salah satunya adalah penanggulangan penangkapan yang yang menggunakan bahan peledak.
Dalam upaya meminimalisasi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, dengan menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (sianida) khususnya adalah :
1. Pengembangan Mata Pencaharian. Masyarakat pesisir (nelayan) dikategorikan masih miskin dan memiliki tingkat pendidikan yan sangat rendah. Perilaku masyarakat yang cenderung destruktif sangat dipengaruhi oleh factor ekonomi (kemiskinan) dalam memenhi kebutuhannya dan diperparah dengan sifat keserakahan dalam mendapatkan hasil yang maksimal walaupun ditempuh dengan cara-cara yang merugikan karena bukan saja merusak lingkungan ekosistem terumbu karang saja tetapi juga memutus rantai mata pencaharian anak cucu. Bukan hanya itu, factor rendahnya tingkat pendidikan juga mempengarhi perilaku masyarakat tersebut. Dengan alternative mata pencaharian (tambahan) diharapkan dapat memberikan nilai tambah sehingga masyarakat pesisir (nelayan) destruktif akan berkurang.
2. Penegakan Hukum dan Kepastian Hukum. Secara umum maraknya kegiatan penangkapan ikan dengan merusak di beberapa daerah termasuk di Kepulauan Padaido Kabupaten Biak adalah penegakan hukum. Beberapa kasus yang tidak diselesaikan secara baik dan tuntas dan transparan memicu perilaku masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat akibat penanganan pelanggaran tersebut semestinya diperbaiki mulai dari aparat penegakan hukum yang terkait.
3. Pendidikan dan Penyadaran tentang Lingkungan. Sebagaimana yang dipaparkan dipoint pertama di atas, dimana secara umum masyarakat pesisir (nelayan) terutama yang diindikasikan sebagi pelaku penangkapan ikan dengan merusak tersebut memiiki pendidikan rendah sehingga pengetahuan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang terbatas. Dengan pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan dapat melalui seminar, lokakarya, workshop, studi banding dapat ditingkatkan.
Implementasi dari tiga point tersebut penanggulangan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan dengan cara merusak (destructive fishing) dapat dipastikan meminimalisasi dampak dari kegiatan tersebut tentunya jika diimplementasikan dengan baik (focus dan terintegrasi).


BACAAN

Brown, 1997. Coral Bleacing : Causes and consequency. Coral Reefs 16.
Bambang Murdiyanto. 2003. Mengenal, Memelihara dan Melestarikan Ekosistem Terumbu Karang. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta.
Cite as ‘ ISRS. 2004. Sustainable fisheries management in coral reef ecosystems. Briefing Paper 4, International Society for Reef Studies, pp: 14’
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut; Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Gerald R. Allen. Tanpa tahun. Coral Reef Fishes of the Bird’s Head Peninsula, Indonesia. Western Australian Museum
Ikawati, Y., P.S. Hanggarwati, H. Parlan, Handini dan Siswodihardjo. 2001. Terumbu Karang di Indonesia. Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPPITEK), Jakarta.
Kabupaten Biak, 2005. Profil Sumberdaya Pesisir dan Laut Kabupaten Biak Numfor. BP3D Kabupaten Biak. Biak
Mann, K.H. 2000. Ecology of Coastal Waters: With Implications for Management. Second Edition. Blackwell Science.
Nybakken, 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.
Boli, P dan Paulangan,Y.P., 2007. Buku Katalog Terumbu Karang. COREMAP II. RCU Papua. Jayapura.
Boli.P, 2007. Pengaruh Penangkapan Ikan Karang Terhadap Kondisi Terumbu Karang Di Teluk Cenderawasih. Disampaikan Pada Lokakarya Pengelolaan Ikan Karang Di Hotel Spark, 15 – 16 November 2007. Jakarta.
Rosenberg, E dan Loya, Y., 2004. Coral Health and Disease. Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York.
Sukmara; Siahainenia dan Rotinsulu, 2001. Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat Dengan Metode Mantatow. Proyek Pesisir-CRMP Indonesia.¬
Supriharyono, 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Viles, H and Spencer T., 1995. Coastal Problems: Goemorflogy, Ecology and Social at the Coast. Publisher Oxford University Press Inc. USA
Yeemin, N. Somkleeb and M. Sutthacheep, 2001. Coral Reef Ecosystem Management for Sustainable Tourism in Mu Koh Chang, Thailand.

Senin, 15 Februari 2010

TANTANGAN COREMAP SETELAH FASE II DI KEPULAUAN PADAIDO KABUPATEN BIAK

Umumnya kerusakan terumbu karang di Indonesia maupun di Papua khususnya diakibatkan oleh pemanfaatan sumberdaya ikan yang tidak mengindahkan prinsip kelestarian seperti penangkapan ikan dengan penggunaan bahan peledak, bahan peracun, bubu dan jaring dasar. Aktivitas yang merusak ini diperburuk oleh masih kurangnya dan tidak konsistennya upaya penegakan hukum tentang penggunaan sumber daya laut, serta rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya ekosistem terumbu karang. Dilain pihak tuntutan kualitas hidup juga mendorong perlunya meningkatkan volume hasil tangkapan, meskipun harus dengan menggunakan alat tangkap yang merusak terumbu karang. Keadaan ini tentunya berdampak negatif terhadap kelestarian terumbu karang.
Kabupaten Biak Numfor memiliki sumberdaya laut yang sangat besar khususnya untuk potensi sumberdaya terumbu karang maupun sumberdaya perikanan yang berasal dari terumbu karang dan menjadikan sektor perikanan sebagai leading sektor dalam pengembangan dan pembangunannya.
Secara geografis, terletak di antara 134°47’ – 136° Bujur Timur dan 0°55’ – 1°27’ Lintang Selatan yang berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Kabupaten Supiori di sebelah utara, Selat Yapen di sebelah selatan, Kabupaten Manokwari di sebelah barat, serta Samudera Pasifik di sebelah timur.
Kabupaten Biak Numfor terdiri dari 10 distrik, sebagian besar diantaranya tujuh distrik berada di daratan Pulau Biak, sedangkan dua distrik berada di Pulau Numfor dan satu distrik lainnya berada di Kepulauan Padaido. Distrik-distrik yang berada di Pulau Biak umumnya dapat dijangkau melalui darat dari pusat kabupaten. Sebaliknya Disrik Kepulauan Padaido hanya dapat dijangkau melalui jalur laut.
Masyarakat di Distrik Kepulauan Padaido dan Distrik Biak Timur pada umumnya sangat tergantung pada sumberdaya laut khususnya kegiatan penangkapan ikan sebagai mata pencaharian utama. Umumnya usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh penduduk di Kabupaten Biak Numfor masih bersifat tradisional. Sebagian besar usaha penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan perahu tanpa motor dan hanya sebagian kecil menggunakan perahu motor tempel. Teknologi penangkapan ikan yang digunakan juga masih sangat sederhana. Mayoritas penangkapan ikan dilakukan dengan hanya menggunakan alat tangkap seperti pancing, jaring angkat dan sisanya menggunakan jaring insang. Rendahnya teknologi penangkapan ikan yang digunakan penduduk di Kabupaten ini berdampak pada terbatasnya wilayah tangkap dan rendahnya hasil tangkapan penduduk.
Dalam pengelolaan berkelanjutan oleh program COREMAP, pengetahuan masyarakat dalam hal fungsi dan manfaat pelestarian terumbu karang bagi masyarakat yang bermukim di sekitar ekosistem terumbu karang mutlak diperlukan. Distrik Kepulauan Padaido dan Biak Timur digambarkan secara umum bahwa tingkat pengetahuan masyarakat akan pentingnya pelestarian ekosistem sudah cukup baik (KMB RC Papua, 2007). Dapat dikatakan bahwa masyarakat sudah mengetahui dengan baik dari terumbu karang serta fungsinya serta dampak dari penangkapan yang merusak serta juga dapat menjelaskan hubungan antara keberadaan terumbu karang dengan ikan. Namun di sisi lain, meskipun masyarakat secara umum telah mengetahui fungsi dan manfaat terumbu karang, masih banyak masyarakat yang melakukan kegiatan pemanfaatan dengan menggunakan cara-cara yang merusak. Hal ini disebabkan oleh salah satunya adalah faktor ekonomi.
Sebelum implementasi Program COREMAP, masyarakat setempat telah mengetahui apa fungsi dari terumbu karang, namun hal ini hanya terbatas pengetahuan saja yang artinya bahwa apa yang mereka ketahui sangat berbeda dengan apa yang mereka lakukan terhadap ekosistem terumbu karang yang ada di sekitarnya.
Dengan masuknya COREMAP telah memberikan pemahaman, pengetahuan serta pengertian yang baik tentang pentingnya ekosistem terumbu karang bagi kehidupan di lingkungannya maupun kehidupan masyarakat sendiri. Masyarakat berpendapat bahwa pelestarian ekosistem terumbu karang sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka, terutama dalam menunjang mata pencaharian mereka yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tradisional. Selain itu, sebagian mengatakan bahwa dengan adanya kegiatan pelestarian ekosistem terumbu karang (yang dilakukan oleh COREMAP) menjadikan kondisi lingkungan pesisir di sekitar mereka menjadi lebih baik dan khususnya hasil tangkapan ikan semakin bertambah.
Umumnya masyarakat sangat setuju dan mendukung adanya Program COREMAP yang telah berjalan dan telah memasuki tahap ke-2 ini, dengan alasan dapat membantu masyarakat dalam memberikan pemahaman akan pentingnya pengelolaan sumberdaya alam khususya pelestarian ekosistem terumbu karang demi kelangsungan generasi mendatang. Masyarakat juga telah mengetahui tujuan dari Program COREMAP secara umum, yakni menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang yang ada di daerahnya.
Demikian juga dengan keterlibatan dalam mendukung program COREMAP. Sebagian besar masyarakat selalu terlibat dalam setiap kegiatan COREMAP tetapi tujuan dan sasaran dari program belum dipahami secara baik oleh sebagian dari mereka yang cenderung mengatakan bahwa program COREMAP adalah program proyek yang membagi-bagi bantuan sehingga merupakan salah satu alasan mereka seringnya melakukan kegiatan penangkapan yang merusak karena tidak mendapatkan bantuan seperti yang harapkan.
Sekarang setelah akan berakhirnya fase II, seharusnya menjadi tantangan bagi stakeholder apalagi jika program COREMAP berakhir, yaitu bagaimana melanjutkan program konservasi, pemberdayaan, penyadaran dan program-program lainnya.

MENGGAGAS ULANG KEJAYAAN PARIWISATA TORAJA SEBAGAI DAERAH TUJUAN WISATA (DTW)


Rekonstruksi TORAJA sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW).
Beberapa tahun yang lalu, Tana Toraja telah menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang terfavorit ke-2 di Indonesia setelah Bali. Keberhasilan Pemerintah Daerah Tana Toraja memajukan sector pariwisata ini sebagai andalan utama bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat beralasan, mengingat adat dan budaya yang unik dan tiada duanya di belahan manapun di dunia ini serta potensi sumberdaya alam yang dimiliki cukup terbatas.
Persoalannya, sector pariwisata saja pada beberapa tahun terakhir ini telah “MATI SURI”. Jumlah kunjungan wisatawan telah mengalami penurunan yang drastis. Hal ini juga tidak terlepas dari dampak krisis global yang melanda sebagian besar wilayah di Asia Tenggara yang turut mengguncang aktivitas pariwisata di Indonesia termasuk di Tana Toraja dan Bali. Berbeda dengan Toraja, pemerintah daerah Bali, telah berhasil keluar dari persoalan yang krusial tersebut bahkan dapat melaju dengan kunjungan wisatawan yang terus meningkat walaupun beberapa ujian berat yang dilalui seperti aksi teroris yang meluluh lantakkan Bali yang dikenal dengan Bom Bali I dan II berbeda di Toraja. Pertanyaan apa yang salah dalam pengelolaan pariwisata di Toraja?

Merumuskan ulang tawaran daya tarik pariwisata Toraja
Ketika kita ditanya apakah yang paling menarik di Toraja?, maka jawabannya akan beragam. Mungkin saja ada yang menjawab karena adat dan budayanya yang unik, karena pemandangannya yang indah, dan mungkin juga karena masyarakatnya yang ramah. Lalu kalau kita ditanya apakah yang menjadi kendala jika ingin menikmati semua yang disebutkan tersebut di atas?, maka jawabannya akan beragam pula.
Kesemuanya ini perlu dikaji kembali lagi agar kita tidak terlena dengan jawaban pertanyaan pertama di atas. Kebanggaan yang berlebihan bagi kita yang selalu menekankan pada adat dan budaya Toraja adalah yang paling unik se nusantara, bahkan seluruh dunia akan merugikan kita. Adat dan budaya yang paling khas dan unik yang berujung kepada kesombongan diri sehingga mengira wisatawan akan berkunjung dengan sendirinya tanpa adanya usaha untuk menarik mereka secara khusus. Masyarakat Toraja harus menyadari bahwa setiap adat dan budaya keindahan alam, objek panorama, air terjun, ngarai dan lembah banyak dimiliki oleh daerah lain yang tidak kalah dalam memberikan tawaran wisata yang lebih mudah dinikmati dan menarik untuk dikunjungi. Kita boleh saja menyatakan bahwa Toraja jauh lebih indah melebihi alam di Bali, namun dalam kenyataanya Bali adalah ikon pariwisata nasional yang bahkan kepopulerannya jauh melebihi bangsa ini. Dari situ dapat kita tarik satu pelajaran bahwasanya keindahan adat dan budaya serta alam hanya akan menjadi benda mati yang tak bernyawa dan tidak mempunyai daya tarik apapun bagi pengunjung ketika tidak adanya tawaran lain yang lebih baik bagi objek wisata tersebut. Terlebih lagi , saat ini telah terjadi perubahan consumers-behaviour pattern atau pola konsumsi dari para wisatawan. Mereka tidak lagi terfokus hanya ingin santai dan menikmati pemandangan alam saja, saat ini pola konsumsi mulai berubah ke jenis wisata yang lebih tinggi, yang meskipun tetap santai tetapi dengan selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya (culture) dan peninggalan sejarah (heritage) serta alami (nature) atau eko-wisata dari suatu daerah.
Setiap wisatawan yang berkunjung mengharapkan apa yang disebut dengan Triple A’s yaitu terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas yang mesti dibenahi. Atraksi, dapat diartikan sebagai objek wisata (baik yang bersifat tangible aupun intangible) yang meberikan kenikmatan kepada wisatawan. Atraksi sendiri dapat dikategorikan dalam tiga kategori, yakni alam, budaya dan buatan. Atraksi alam meliputi pemandangann alam, seperti pemandangan Batutumonga, udara sejuk dan bersih, hutan, sungai, gua dan lain-lain. Unsur lain yang melekat dalam atraksi ini adalah hospitality, yakni jasa akomodasi atau penginapan, restoran, biro perjalanan, dan sebagainya (Janinton dan Weber, 2006).

Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan wisata (Inskeep, 1994), mulai dari darat, laut, sampai udara. Akses ini tidak hanya menyangkut aspek kuantitas tetapi juga inklusif mutu, ketepatan waktu, kenyamanan, dan keselamatan. Diskusi tentang aksesibilitas biasanya lebih banyak menyoroti infrastruktur transportasi negara atau daerah tujuan wisata. Mungkin akses dari negara asal ke tujuan mudah dan lancar. Namun demikian akan timbul kesulitan lain jika di daerah tujuan tidak tersedia jaringan transportasi ke daerah sekitarnya. Demikian halnya di Toraja misalnya ketika wisatawan tiba di Jakarta, Makassar dan Bali namun akses ke Toraja menjadi lebih sulit sekalipun lewat udara. Sayangnya akses udara belum dapat diandalkan menuju ke Toraja sebagai modal transportasi yang tersedia bagi kepentingan wisata ke Toraja. Akiatnya wisatawan terkonsentrasi di Bali.
Amenitas adalah infrastruktur yang sebenar tidak langsung terkait dengan pariwisata tetapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan. Bank, money changer, telekomunikasi (telepon dan warnet), usaha persewaan (rental), penjual buku panduan wisata, dan lain-lain digolongkan dalam bagian ini.
Semakin lengkap dan terintegrasinya ketiga unsur tersebut di dalam produk wisata maka akan semakin kuat posisi penawarannya dalam sistim kepariwisataan. Untuk itu kualitas produk yang ditawarkan mutlak diperlukan. Kualitas produk yang baik terkait empat hal, yakni keunikan, otensitas, originalitas, dan keragaman (Janinton dean Weber, 2006). Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan daya tarik yang khas melekat pada suatu obyek wisata, misalnya Kerbau belang (tedong bonga) dan habitatnya di Toraja dapat dikatakan unik karena tidak ada duanya di dunia. Originaitas atau keaslian mencerminkan keaslian dan kemurnian, yakni seberapa jauh suatu produk tidak terkontaminasi oleh atau tidak mengadopsi model atau nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Di sini model seringkali menentukan. Contoh : Di Toraja Banyak bangunan hotel tidak menampilkan arsitektur lokal (tongkonan). Padahal penampilan arsitek dimaksud sangat mencirikan keaslian tanpa mengurangi kenyamanan wisatawan. Demikian pula karyawan hotel tidak lagi mengenakan dasi dan jas serta peci sebagai bagian dari tampilan, melainkan mengenakan pakaian tradisional yang didesain secara memikat. Bandingkan dengan yang ada di Bali dan Jogja bahkan penarik becak dan tukang dokarpun berpakaian tradisional untuk mendukung keaslian budaya yang ditawarkan tersebut. Sementara Otentisitas mengacu pada keaslian tetapi bedanya adalah otentisitas dikaitkan dengan drajat kecantikan atau eksotisme budaya sebagai atraksi wisata (Kontogeorgopolus, 2003 dalam Janinton dan Weber, 2006). Upacara rambu solo’ di Tana Toraja tidak saja unik tetapi juga otentik. Ini berbeda dengan upacara kematian di daerah lain.
Kejayaan wisata masa lalu Toraja akan terulang jika pemerintah daerah mengkaji ulang kebijakan dan program yang terkait dengan tawaran wisata tersebut. Menggagas ulang model pengembangan dengan merekonstruksi kembali kebijakan sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kejayaan yang pernah dicapai oleh Bumi Lakipadada. Dibutuhkan terobosan baru yang kiranya membutuhkan inovasi dan kreativitas antara pelaku wisata dan pembuat kebijakan tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat.
Untuk itu mestinya ada brand yang brilian untuk membuat strategi dan program demi pertumbuhan dunia pariwisata di Toraja. Dalam hal ini menyiapkan strategi khusus untuk menggarap wisatawan baik mancanegara maupun wisatawan nusantara lokal). Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian pertama bagi pemerintah daerah di Toraja yang tidak hanya menjadi jualan dalam menjelang PILKADA nantinya tetapi betul-betul memiliki branding yang kuat menjual image Toraja masa depan. Semoga.